Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Belajar dan Pembelajaran


BAB I
PENDAHULUAN

A.   PENDAHULUAN

Belajar merupakan proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, keterampilan dan sikap. Proses belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya. Kapasitas manusi untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Dalam makalah ini kita bersam-sama mengkaji teori belajar behavioristik dari segi sejarahnya, hakikatnya, pandangan teori belajar behavioristik terhadap unsur-unsur belajar, dan model-model pembelajaran yang dapat dirancang berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar behavioristik.

B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan teori belajar behavioristik?
2.      Bagaimana sejarah teori belajar behavioristik ?
3.      Bagaimana pandangan teori belajar behavioristik terhadap unsure-unsur belajar?
4.      Bagaimana model-model pembelajaran yang dapat dirancang berdasarkan teori belajar behavioristik?

C.    TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui pengertian dan dapat memahami tentang teori belajar behavioristik.
2.      Untuk mengetahui sejarah teori belajar behavioristik.
3.      Untuk mengetahui pandanga teori belajar behavioristik terhadap unsure-unsur belajar.
4.      Untuk mengetahui model-model pembelajaran yang dapat dirancang berdasarkan teori belajar behavioristik.

D.    METODE PENULISAN

            Pada pembuatan makalah ini metode yang digunakan adalah mengambil bagian-bagian penting atau intisari dari bahan yang telah diberikan oleh dosen pembimbing.





























BAB II
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

HAKIKAT TEORI BELAJAR  BEHAVIORISTIK

Teori belajar behavioristik lahir sebagai upaya menyempurnakan  dua perspektif yang telah berlaku  diawal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologis funsionalis dari Dewey.
            Perspektif strukturalis percaya akan penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia.  Para strukturalis tidak percaya pada penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan kepada manusia. Para strukturalis kemudian menggunakan alat “instrospeksi”- laporan diri  (self report) tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia.
            Para ahli psikologi fungsionalis  menyatakan perlu adanya kajian tentang prilaku selain kajian tentang fungsi proses mental.
            John B Watson memulai upayanya untuk mengkaji prilaku terlepas dari proses mental dan lain-lain. Menururtnya semua makhluk hidup menyesuaikan diri terhadp lingkungannya melalui respon. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar dari teori belajar behaviorisme.
            Sebelum Watson ada Ivan Pavlov  dengan teori Classical Conditioning  dan ada Thorndike dengan teorinya Connectionism. Menurut Pavlov bahwa prilaku atau respon dapat dimanipulasi melalui variasi stimulus atau rangsangan. Menurut Thorndike , respon akan diberikan berdasarkan asas coba-coba sebagi reaksi terhadap stimulus yang muncul. Berdasarkan semua itu Watson menyimpulkan bahwa teori prilaku memberikan mekanisme yang menjadi landasan dasar terjadinya berbagai dalam kehidupan.  
            Teori belajar behavioristik mendefinnisikan bahwa belajar merupakan perubahan prilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar. Bukan hasil dari proses pematangan (pendewasaan) semata. Menurut teori belajar behavioristik , perubahan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan  beragam pengalaman kepada seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengeruhi atau mengubah kapasitas untuk merespon.




A.    PREMIS DASAR TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

            Menurut teori balajar  behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara stimulus dan respon , yaitu proses manusia untuk memberikan respon tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar.
                                                          Hubungan Langsung
                   S                                                     R
                                               ( koneksi )

Stimulus yang dapat dilihat                             Penyebab                                      Respon yang dapat
                                                                                                                     dilihat 

Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsure, yaitu dorongan atau “drive” stimulus atau rangsangan, respons d an penguatan atau”reinforcement”. Unsur dorrongan diperlihatkan jika seseorang merasakan adanya kebutuhan ini. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang menyebabkan timbulnya respon dari orang tersebut. Respon atau reaksi diberikan tehadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan sesuatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan akan memberi  tanda kepada seseorang dengan kualitas respon yang diberikan, dan mendorong orang tersebut untukmemberikan respon lagi ( respon yang sama atau respon yang berbeda.
            Teori belajar behavioristik sangat  menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi didalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat.
            Namun demikian, tidak kalah penting adalah masukan (input) yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar,dicium, dirasakan dan diraba oleh seseorang.
Untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan , selain manipulasi stimulus ada factor yang lebih penting yaitu factor penguatan (reinforcement).  Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Pengutan dapat ditambahkan ataupun dikurangi untuk memperoleh respon yang semakin kuat.

B.     CLASSICAL CONDITIONING – PAVLOV

Percobaan yang dilakukan Ivan Petovich Pavlov ( 1849-1936) merupakan upaya untuk meneliti “conditioned reflexes”  atau refleks terkondisi. Dalam percobaan Pavlov seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara air liur merupakan respons ( refleks ) yang juga tak terkondisi, kemudian daging ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan beberapa kali , diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur hanya oleh cahaya lampu, tanpa ada daging ( proses asosiasi). Dengan demikian, cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi dan liur menjadi respons yang terkondisi.
Teori Pavlov didasarkan pada reaksi system tak terkondisi dalam diri seseorang. Reaksi emosional yang dikontrol oleh system urat syaraf otonom, serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.
Ada 3 parameter yang diperkenalkan oleh Pavlov melalui teori  Classical Conditioning, yaitu reinforcement, extinction, and spontaneous recovery ( penguatan, penghilangan, pengembalian spontan ). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan-yaitu tindak lanjut atau penguatan yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi dan diikuti stimulus tak terkondisi dan respon tak tekondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian, pembentukan respons terkondisi  pada umumnya bersifat bertahap ( gradual). Makin banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi, makin mantaplah respon terkondisi yang terbentuk , sampai pada suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus tak terkondisi.
Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tak terkondisi, ada kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun dan hilang sama sekali. Proses ini disebut penghilangan (extinction)
Dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan stimulus, yaitu  kecendrungan untuk memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama  dengan stimulus tak terkondisi. Makin banyak peersamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, makin besar pula perempatan yang dapat terjadi.
Selain perampatan stimulus, teori Classical conditioning  juga mengenal konsep diskriminasi stimulus yaitu suatu proses belajar yang memberikan  respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons  sama sekali terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan suatu stimulus tak terkondisi yang lain (Morgan, et all, 1986)  sahingga seseorang akan melakukan “selective association”- asosiasi terseleksi terhadpa stimulus untuk memunculkan respons

C.    CONNECTIONISM – THORNDIKE

Dasar- dasar teori  Connectionism  dari Edward L. Thorndike ( 1874- 1949) diperoleh juga dari sejumlahpenelitian yang dilakukan terhadp perilaku binatang. Penelitian –penelitian  Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mapu memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning”  atau akal dan atau dengan mengkombinasikan  beberapa proses berpikir dasar.
            Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaituanak ayam, anjing, ikan kucing dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang tersebut keluar dari kandangnya untuk memperoleh makanan. Pada saat dikurung , binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, mengigit ,menggapai dan bahkan memegang mengais dinding kandang.  Cepat atau lambat , setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar kandang dan memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan pengurangan frekuensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran , penggigitan,penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi lebih singkat.
            Dari penelitiannya, Thorndike menyimpulkan respons untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam sutu proses coba-coba (“trial and error”).  Respons yang benar secara bertahap diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba , sementara reespons yang tidak benar melemah atau menghilang. Teori Connectiosm Thorndike ini juga dikenal dengan nama ”instrumental conditioning” karena respons tertentu akan dipilih sabagai instrument dalam memperoleh “reward” atau hasil yang memuaskan.
            Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar , yaitu “law of effect”  (dalil sebagai akibat) ,law of readiness” (dalil kesiapan). Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan diperoleh dari suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respon atau perilaku yang dimunculkan. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut. Dalil latihan/ pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respons. Dalil kesiapan menyatakan kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons.
            Dari sekian banyak penelitiannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal  dengan proses “transfer of  learning” perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dari proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadp konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting). Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.
D.    BEHAVIORISM – WATSON
Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike uyang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson , stimulus dan respon yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya,haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable)  maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
Interaksi antara stimulus dan respon terhadap berbagai situasi – proses pengkondisian  - menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitiannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki 3 jenis emosional, yaitu takut, marah dan sayang. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respons , Watson menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang dilengkapi dengan komponen  penguatan Thorndike
.
E.     PENERAPAN TEORI BELAJAR PAVLOV, THORNDIKE , DAN WATSON DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Teori belajar Classical Conditioning dari Pavlov , Connectionism  dari Thorndike, dan Beahaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar perilaku dengan premis dasar yang relative sama.
Konsep stimulus ( Pavlov, Thorndike, Watson ) diterapkan dalam proses pembelajarang dalam bentuk penjelasan, tentang tujuan , ruang lingkup, dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu  konsep respons ( Pavlov, Thorndike, Watson) diterapakan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes atau ujian setelah materi disajikan atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan hasil karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respon  ( Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi , baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus ( perampatan atau diskriminasi stimulus – Pavlov ). Hasil peneltian didunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam ( dua atau lebih)  secara variatif menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus-menerus ( Chilsholm & Ely, 1976). Selain itu proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa.
Dalam proses pengkondisian , berlaku tentang tiga teori belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran ( umum maupun khusus), yang harus dpat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep “observable behavior” (Watson). Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.
PERKEMBANGAN TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
A.    TEORI SYSTEMATIC BEHAVIOR – CLARK HULL

Clark L. Hull (1884- 1952)  sangat mengagumi Teori Refleks Terkondisi dari Pavlov.  Teori Hull dikenal sangat “behavioristic”  dan mekanistik. Konsep utama dari Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai penelitian tentang kebiasaan dan respon yang dilakukan Hull melalui percobaan terhadap binatang.
Pada dasarnya dalam teorinya , Hull menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan repons tidaklah sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull , ada proses lain  dalam diri seseorang atau organism e yang mempengaruhi interaksi antara stimulus dan respons. Proses tersebut disebut oleh Hull sebagai variable “intervening” (yang berpengaruh)
Posisi “intervening variable” dalam mempengaruhi terjadinya respons digambarkan Hull sebagai berikut :
Variable input                           intervening                         variable out put
                                                       Variable                         

1.     

Haus
Kekurangan air                                                                  1. Jumlah air yang  diminum
2.      Makan kue asin                                                                 2. Upaya mencari air
                                     
Kekeringan                                                                               jumlah yang  akan dibayar untuk 
memperoleh air
 
             gambar, posisi intervening variable
Hull memberikan contoh rasa haus sebagai salah satu “intervening variable”. Situasinya adalah binatang yang diberikan makanan yang asin, atau tdak diberi minum dalam waktu yang lama. (input variable). Untuk mengatasi rasa haus, binatang akan melakukan bermacam-macam aksi, sperti mengais. Mencari-cari air, dll.
Menurut Hull proses belajar merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan dengan serangkaian percobaan. Untuk dapat memperoleh kebiasaan diperlukan adanya penguatan dalam proses percobaan.  Namun, Hull juga mengatakan bahwa penguatan bukan satu-satunya factor yang menentukan  dalam pengembangan kebiasaan, karena pengembangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya percobaan yang dilakukan. Disamping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh berbagai factor lain (non-learning factors) yang berinteraksi langsung terhadap reaksi. Potensial yang timbul.

B.     TEORI CONTIGUITY –EDWIN R. GUTHRIE

Teori contiguity  dari Edwin. R Guthrie (1886-1959) dikenal juga dengan  Contiguous Conditioning. Teori berangkat dari dua teori yatu Thorndike dan Pavlov dan juga dipengaruhi Watson.
Dalil Guthrie yang pertama tentang proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakan, pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan tersebut. Dalil kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi atau keterkaitan yang tinggi dengan repon yang ditimbulkannya pertama kali. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang berakhir terjadi akan muncul (terulang) lagi seandainya kombinasi stimulus yang sama dihadirkan kembali.
Berdasarkan teori contiguity, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil penelitiannya bahwa hasil latihan kan mengakomodasikan ataupun menghilangkan respon-respon tertentu  sehingga atas kombinasi stimulus yang muncul dapat menghasilkan suatu respon yang menyeluruh sebagaimana yang diharapkan – yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Guthrie juga menyatakan motivasi mempengaruhi belajar secara tidak langsung , yang terlihat melalui penyebab atau alas an individu melakukan sesuatu (merespons )
Satu hal yang menjadi kritik terhadap teori Guthrie adalah bahwa ia mencoba memberikan  jawaban yang relative pasti terhadap segala permasalahan dalam belajar , tanpa ada perubahan selama hampir lima puluh tahun. Dengan kata lain teori Guthrie merupakan teori klasik yang tidak berkembang. Walaupun demikian, harus diakuibahwa teori Guthrie memiliki kemampuan untuk menjelaskan beragam fenomena belajar secara luas.

C.    TEORI OPERANT CONDITIONING –SKINNER

Menurut Skinner, penjelasan Pavlov atas hubungan antara stimulus dan repons yang menghasilkan perubahan tingkah laku, merupakan penjelasan yang tidak lengkap. Skinner menjelaskan bahwa teori Pavlov hanya berlaku bagi interaksi antara stimulus dan respons yang sederhana saja.
Menurut Skinner, kunci untuk memahami perilaku individu terletak pada pemahaman kita terhadap hubungan antara stimulus satu dengan stimulus yang lain , respons yang dimunculkan , dan juga berbagai konseuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut.
Sebagai penganut aliran perilaku, Skinner setuju dengan pendapat  Watson yang mengatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku. Ada 6 asumsi dasar teori Operant Conditioning , yaitu :
1.      Hasil belajar merupakan perilaku yang dapat diamati
2.      Perubahan perilaku sebagai hasil belajar secara fungsional berhubungan dengan perubahan situasi dalam lingkungan  atau suatu kondisi
3.      Hubungan antara perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika elemen-elemen  perilaku dan kondisi percobaan diukur secara fisik dan diamati perubahannya dalam situasi yang terkontrol ketat
4.      Data yang dihasilkan oleh percobaan terhadap perilaku merupakan satu-satunya data yang dapat digunakan dalam mengjkaji alas an munculnya suatu perilaku.
5.      Sumber data yang paling tepat adalh dari masing-masing individu.
6.      Dinamika interaksi antara individu dengan lingkungannya bersifat relative sama untuk semua jenis makhluk hidup.
Komponen proses belajar menurut Skinner terdiri dari stimulus yang diskriminatif  (discriminative stimulus)  dan penguatan (positif dan negative serta hukuman)  untuk menghasilkan respons ( perubahan tingkah laku). Stimulus yang diskriminatif menurut Skinner merupakan stimulus yang selalu hadir untuk pemuncunamalan suatu respons.
Jika dalam teori Thorndike dikenal konsep reward maka dalam teori Skinner digunakan istilah penguatan (reinforcement) yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku.
Setiap peguatan yang memperkuat pemunculan  respons yang benar disebut penguatan positif, menurut Skinner. Penggunaan penguatan negative seringakali menghasilkan dampak pengiring berupa emosi yang dikenal dengan anxiety (kecemasan) atau takut.
Penguatan positif merupakan stimulus yang merancang pemunculan respons yang benar , sedangkan penguatan negative memperkuat pemunculan respons yang benar melalui penghilangannya. Skinner menekankan behwa hukuman dapat menghasilkan tiga dampak yang tidak diharappkan , yaitu hukuman hanya bersifat sementara dalam menghilangkan respons yang tidak diinginkan, hukuman dapat menimbulkan perasaan yng tidak mengenakan, hukuman dapat meningkatkan pemunculan perilaku yang dianggap mengurangi hadirnya stimulus yang tidak menyenangkan. Secara umum hukuman tidak dapat mengahasilkan perilaku yang positif. Oleh sebab itu, Skinner lebih menganjurkan penggunaan penguatan daripada hukuman jika ingin memperoleh respons yang benar.
Proses “shaping”  atau pembentukan yang dilakukan secara bertahap akan menghasilkan penguasaaan terhadap perilaku yang kompleks melalui perancangan (manipulasi) stimulus yang diskriminatif dan penguatan. Menurut Skinner proses “shaping” dapat menghasilkan perilaku yang kompleks yang tidak memilki kemungkinan untuk diperoleh secara alamiah atau dengan sendirinya. “Shaping” yang berkelanjutan yang dilakukan untuk memperoleh perilkau yang kompleks disebut “program” oleh Skinner.
Kesimpulan menurut Skinner setelah melakukan berbagai  penelitian adalah bahwa : 1)  setiap langkah dalam proses belajar perlu dibuatkan pendek-pendek, berdasarkan tingkah laku yang pernah dipelajari sebelumnya, 2) untuk setiap langkah yang pendek tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati , 3) penguatan diberikan harus sesegera mungkin setelah respons yang dimunculkan , 4) stimulus diskriminatif perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perampatan stimulus dan peningkatan hasil belajar. Konsep pembelajaran terprogram implicit adalah konsep kontrol oleh Skinner diupayakan agar berada ditangan anak yang belajar. Oleh karena itu, bagi Skinner , konsep-attribution dan  self-awaeness (pengenalan diri sendiri – untuk kemudian dapat melakukan control atas program pembelajaran) menjadi sangat penting.
Teori Operant Conditioning dari Skinner percaya bahwa setiap individu harus diidentifikasi karakteristik maupun perilaku awalnya untuk suatu proses shaping. Skinner menyatakan bahwa perilaku dapat dibentuk (dan dapat dihilangkan) sehingga hampir semua orang yang mendapat latihan yang layak akan dapat memiliki perilaku yang diinginkan . disamping itu, teori Skinner percaya bahwa pengkondisian suatu respons sangat tergantung kepada penguatan yang dilakukan berulang-ulang secara berkesinambungan.
Dalam hal motivasi Skinner percaya akan peran penguatan yang memantapkan pemunculan suatu respons yang diharapkan dan juga peran hukuman yang secara umum dapat menghilangkan pemunculan  respons yang tidak diharapkan. Skinner juga mengemukakan bahwa manusia dapat diajar untuk “berpikir”  atau “menjadi kreatif”  melalui metode pemecahan masalah yang melibatkan proses identifikasi masalah secara repat (labeling), dan proses mengaktifkan strategi (rule and or sequence) untuk memanipulasi variable dalam  masalah tersebut sehingga diperoleh pemecahan masalahnya. Teori Operant Conditioning dari Skinner juga percaya akan proses perampatan hasil belajar. Dengan menggunakan istilah induksi Skinner menjelaskan bahwa perampatan terjadi berlandaskan pda proses induksi terhadp stimus yang tderajat kompleksitasnya dan karakteristiknya mempunyai kesamaan dangan stimulus diskriminatif yang sudah dipelajari.

D.    PENERAPAN TEORI HULL, GUTHRIE, DAN SKINNER DALAM PROSES PEMBELAJARAN 

Berikut ini contoh penerapan teori Hull, Guthrie dan Skinner dalam proses pembelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar.
   

Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Waktu Pertemuan : 30 menit
Stimulus (Hull, Guthrie dan Skinner)
A.    TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah selesai belajar , siswa dpat menjelaskan tentang kebutuhan hidup  manusia dan hubungannya dengan lingkungan.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mengikuti pelajaran ini siswa dapat menguraikan tentang kebutuhan hidup manusia dan lingkungannya.
Materi yang dipilah-pilih (Skinner)
B.     POKOK BAHASAN
Manusia dan lingkungan hidup
Stimulus Diskriminatif (SKINNER)





















Intervening Variable (Hull)












Reinforcement  ( Guthrie)
















Transfer of learning (Thorndike)
TAHAP KEGIATAN
Pendahuluan
Pada tahap ini guru mula-mula menjelaskan cakupan materi tentang manusia dan lingkungan hidup. Di awal pembukaan guru menjelaskan hubungan manusia denga lingkungan hidup dan cara pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk memudahka pemahaman ii perlu juga dimasukkan contoh-contoh  tentang manusia dan lingkungan hidup yang disesuaikan dengan kondisi, misalnya masyarakat pedesaan atau petani, dia akan mulai memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam,kemudian merawatnya dengan memberikan pupuk  dan menjaga dari serangan hama. Kegiatan bercocok tanam ini terus berlanjut sampai menjelang musim panen berikutnya. Apabila hsil panen berlimpah atau berhasil dengan baik sebagian dijual. Dan hasil penjualannya bias ditabung atau dibelikan sesuatu yang diinginkan. Sedangkan masyarakat diperkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja dikantor ,industry yang membuat berbagai macam kebutuhan manusia.

Pemberian contoh ini bertujuan mengingatkan kembali kepada siswa bahwa lingkungan hidup satu daerah dengan daerah lainnya tidak selalu sama. Oleh sebab itu, manusia terhadp lingkungannya selalu bergantung pada kepada lingkungan dan akan dipengaruhi oleh lingkungan itu sendiri,misalnya masyarakat pedesaan akan bercocok tanam karena lingkungan hidupnya mendukung unuk melakukan cocok tanam . begitu juga dengan masyarakat perkotaan aka bekerja di perkantoran ,industri karena lingkungan hidupnya memungkinkan untuk bekerja di tempat tersebut.

Dari penjelasan tersebut guru dapat mengembangkan lagi melalui pertanyaan-pertanyaan kepada siswa untuk mencoba mengemukakan pengetahuannya tentang manusia dan lingkungan hidup. Berdasarkan contoh-contoh sebelumnya.
Setiap  jawaban siswa akan dilemparkan kembali kepada siswa lainnya untuk ditanggapi apakah pendapatnya sama tentang permasalahan yang sedang dibahas . hal ii dilakukan secara terus menerus dan berkeinambungan , misalnya setelah selesai membahas tentang kebutuhan masyarakat pedesaan dilanjutkan dengan pembahasan berikutnya dengan pembahasan berikutnya yang tidak kalah menarik dengan pembahasan sebelumnya.

Penutupan
Pada akhir pelajaran siswa diberikan tugas untuk membuat tulisan atau cerita tentang lingkungan hidup yangdirasakan atau dilihat sehari-hari. Misalnya, seorang siswa pedesaan mengapa disekitarnya ada peternakan sapi, ayam,kambing, ikan dan sebagainya. Atau siswa yang kebetulan ada diperkotaan yang didekat rumahnya ada bengkel atau perkantoran,industry dan sebagainya.
Agar siswa itu tahu apa sebenarnya yang terjadi di lingkungan hidupnya perlu juga dilakukan pengenalan langsung terhadap lingkungan itu sendiri untuk mngunjunginya sehingga siswa dapat melihat, merasakan, ataupun mengetahui proses terjadinya suatu produk. Misalnya ke lokasi perkebunan, perikanan, perkantoran ataupun industry.









BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Teori belajar behavioristik menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar. Bukan hasil dari proses pematangan (pendewasaan) semata. Menurut teori belajar behavioristik , perubahan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan  beragam pengalaman kepada seseorang.
Teori belajar behavioristik sangat  menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi didalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat.
            Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respons. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.















DAFTAR PUSTAKA

Bower. G. H. & Hilgard, E.R (1981). Theories of  Learning. Englewood Cliffs, N. J. :
Prentice Hall
Bell-Gredler , M.E. (1986) .Learning in instruction. Theory into Practice. New York :
            Maclimilan Publishing
Irawan,P. & Suciati. (1998) .  Teori Belajar dan Motivasi . Buku 1a Program Pengembangan
            Keterampilan Dasar Teknik Instruksional untuk Dosen Muda.  Jakarta : Dirjen Dikti
Soekamto, T. (1998). Teori Belajar . Buku 1a Program Pengembangan Keterampilan Dasar
Teknik Instruksional untuk Dosen Muda.  Jakarta : Dirjen Dikti      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar