Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 Januari 2012

Pengelolaan Laboraturium



PENGELOLAAN LABORATORIUM
  1. Pengertian Laboratorium
Kata laboratorium merupakan bentuk serapan dari bahasa Belanda dengan bentuk asalnya laboratorium (Jumariam, dkk, 1996). Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2002) laboratorium diartikan sebagai tempat mengadakan percobaan (penyelidikan dan sebagainya).
Menurut Soejitno (1983) laboratorium dapat diartikan dalam bermacam-macam segi, yaitu :
a. laboratorium dapat merupakan wadah, yaitu tempat, gedung, ruang
dengan segala macam peralatan yang diperlukan untuk kegiatan ilmiah.
Dalam hal ini laboratorium dilihat sebagai perangkat keras (hard ware)
b. laboratorium dapat merupakan sarana media dimana dilakukan kegiatan
belajar mengajar. Dalam pengertian ini laboratorium dilihat sebagai perangkat
lunaknya (soft ware)
c. laboratorium dapat diartikan sebagai pusat kegiatan ilmiah untuk menemukan kebenaran ilmiah dan penerapannya
d. laboratorium dapat diartikan sebagai pusat inovasi. Dengan sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh sebuah laboratorium diadakanlah kegiatan
ilmiah, eksperimentasi sehingga terdapat penemuan-penemuan baru, cara-
cara kerja, dan sebagainya
e. dilihat dari segi “clientele” maka laboratorium merupakan tempat dimana
dosen, mahasiswa, guru, siswa, dan orang lain melaksanakan kegiatan
kerja ilmiah dalam rangka kegiatan belajar mengajar
f. dilihat dari segi kerjanya laboratorium merupakan tempat dimana dilakukan
kegiatan kerja untuk menghasilkan sesuatu. Dalam hal demikian ini
dalam bidang teknik laboratorium, di sini dapat diartikan sebagai bengkel
kerja (work shop)
g. dilihat dari segi hasil yang diperoleh maka laboratorium dengan segala
sarana dan prasarana yang dimiliki dapat merupakan dan berfungsi sebagai
Pusat Sumber Belajar (PSB).
Dalam pembelajaran biologi laboratorium tidak hanya diartikan sebagai
sebuah ruangan tempat percobaan dan penyelidikan dilakukan, tetapi
alam terbuka/lingkungan seperti kebun, halaman, taman, kolam, hutan, dan
lain sebagainya dapat disebut sebagai laboratorium. Hal ini karena biologi
mempelajari segala sesuatu tentang makhluk hidup, dan di alam/ lingkungan
sekitar banyak sekali kejadian/ proses kehidupan yang dapat diamati dan
dikaji.
Menurut Rustaman & Rustaman (1997) laboratorium merupakan salah
satu sarana penunjang yang banyak digunakan dalam proses belajar mengajar
biologi, sedang sarana pada pembelajaran biologi dapat diartikan sebagai
beberapa hal, seperti berikut :
a. sebagai unsur pencapaian tujuan, artinya sarana bukan semata-mata sebagai
alat bantu atau alat pelengkap, melainkan bersama-sama dengan materi dan metode berperan dalam proses kegiatan belajar mengajar,agar tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan
b. sebagai pengembang kemampuan, terutama alat-alat yang dapat dimanipulasi atau dirakit atau dimodifikasi atau media yang sengaja direncanakan untuk meningkatkan kemampuan tertentu, seperti kemampuan
mengamati, menafsirkan, menyimpulkan, merakit alat, mengukur, memilih
alat yang tepat
c. sebagai katalisator dalam pemahaman materi, misalnya melalui alat yang
diperagakan, perbuatan, pengalaman langsung
d. sebagai pembawa informasi, terutama dalam bentuk media misalnya gambar, radio, televisi, film, slide film

B. Pentingnya Laboratorium dalam Pembelajaran Biologi

Dalam pembelajaran biologi pemanfaatan laboratorium atau kegiatan praktikum merupakan bagian dari proses belajar mengajar. Melalui kegiatan praktikum siswa akan membuktikan konsep atau teori yang sudah ada dan dapat mengalami proses atau percobaan itu sendiri, kemudian mengambil kesimpulan, sehingga dapat menunjang pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Dalam hal ini jika siswa lebih paham terhadap materi pelajaran diharapkan hasil belajarnya dapat meningkat.
Amien (1987) juga mengemukakan bahwa praktikum merupakan salah satu kegiatan laboratorium yang sangat berperanan dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar IPA. Dengan praktikum, maka siswa akan dapat mempelajari IPA melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun proses-proses IPA, dapat melatih keterampilan berfikir ilmiah, dapat menanamkan dan mengembangkan sikap ilmiah, dapat menemukan dan memecahkan berbagai masalah baru melalui metode ilmiah, dan lain sebagainya. Kegiatan praktikum dapat diartikan sebagai salah satu strategi mengajar dengan menggunakan pendekatan ilmiah terhadap gejala-gejala, baik gejala sosial, psikis, maupun fisik yang diteliti, diselidiki, dan dipelajari.
Dalam GBPP biologi SMU kelas 2 semester 1 beberapa tujuan pembelajaran harus dicapai siswa melalui kegiatan pengamatan dan percobaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan sarana laboratorium, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Misalnya pada pembelajaran struktur hewan siswa melakukan pengamatan jaringan epitel, otot, tulang, dan syaraf, sedangkan pada pembelajaran struktur tumbuhan siswa melakukan pengamatan susunan jaringan pada akar, batang, dan daun, pada pembelajaran transportasi tumbuhan dilakukan percobaan difusi dan osmosis, dan lain-lain.

C. Peran Laboratorium dalam Pembelajaran
Adanya kelengkapan sarana pembelajaran seperti tersedianya laboratorium diharapkan dapat mendukung kelancaran proses belajar mengajar biologi.
Menurut Soejitno (1983) secara garis besar fungsi laboratorium adalah
sebagai berikut :
a. memberikan kelengkapan bagi pelajaran teori yang telah diterima sehingga
antara teori dan praktik bukan merupakan dua hal yang terpisah. Keduanya saling kaji-mengkaji dan saling mencari dasar
b. memberikan keterampilan kerja ilmiah bagi mahasiswa/ siswa
c. memberikan dan memupuk keberanian untuk mencari hakikat kebenaran
ilmiah dari sesuatu obyek dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial
d. menambah keterampilan dalam menggunakan alat dan media yang tersedia
untuk mencari dan menemukan kebenaran
e. memupuk rasa ingin tahu mahasiswa/ siswa sebagai modal sikap ilmiah
seorang calon ilmuwan
f. memupuk dan membina rasa percaya diri sebagai akibat keterampilan
yang diperoleh, penemuan yang didapat dalam proses kegiatan kerja laboratorium.
Di dalam pembelajaran sains/ IPA, laboratorium berperan sebagai tempat kegiatan penunjang dari kegiatan di kelas. Bahkan mungkin sebaliknya
bahwa yang berperan utama dalam pembelajaran sains adalah laboratorium,
sedangkan kelas sebagai tempat kegiatan penunjang. Fungsi lain dari laboratorium adalah sebagai tempat display atau pameran, sebagai museum kecil, perpustakaan IPA dan tempat sumber belajar IPA (Wirjosoemanto, dkk,
            2004).
Secara umum kegiatan pemanfaatan laboratorium di sekolah-sekolah
adalah melalui kegiatan praktikum, yang bertujuan agar siswa mendapat
kesempatan untuk menguji dan melaksanakan dalam keadaan nyata apa yang
diperoleh dalam teori. Kegiatan praktikum dalam pembelajaran IPA termasuk
biologi merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan seperti yang
dijelaskan oleh Woolnough (dalam Rustaman, dkk, 2003) yang mengemukakan empat alasan mengenai pentingnya kegiatan praktikum IPA. Pertama, praktikum membangkitkan motivasi belajar IPA. Kedua, praktikum mengembangkan kemampuan dasar melakukan eksperimen. Ketiga, praktikum
menjadi wahana pendekatan ilmiah. Keempat, praktikum menunjang materi
pelajaran.
Engkoswara (1982) mengatakan bahwa melalui kegiatan praktikum
yang biasanya dilakukan di laboratorium, siswa diharapkan dapat :
a. mengembangkan berbagai keterampilan secara terintegrasi
b. mengenal berbagai peralatan laboratorium
c. mengenal berbagai desain dan peralatan untuk eksperimen
d. mengembangkan keterampilan mengumpulkan dan menginterprestasikan
data
e. mengembangkan sikap untuk melakukan sesuatu secara tepat dan akurat
f. mengembangkan keterampilan dalam mengobservasi
g. mengembangkan kemampuan dalam mengkomunikasikan hasil eksperimen
h. mengembangkan kecakapan dalam menulis laporan
i. mengembangkan kemampuan untuk belajar dan melakukan percobaan
sendiri
j. menambah keberanian berfikir sendiri dan menanggung resiko
k. merangsang berfikir siswa melalui eksperimen
l. mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah dengan berbagai variabel yang banyak dan berbagai kemungkinan pemecahannya, mengembangkan keberanian untuk mengadakan kerja sama,  mengembangkan
inisiatif, dan menggunakan berbagai sumber
n. mengembangkan tanggung jawab pribadi
o. mengembangkan kecakapan untuk bekerja secara efektif sebagai anggota
dari suatu tim.
Melihat betapa pentingnya kegiatan praktikum, maka di tiap-tiap sekolah sudah seharusnya melaksanakan praktikum dengan mengacu pada Garis Besar Program Pengajaran atau kurikulum yang berlaku. Kegiatan pemanfaatan laboratorium dapat dilihat dari intensitas praktikum yang dilaksanakan oleh masing-masing sekolah. Jika guru sering melaksanakan praktikum menunjukkan bahwa guru tersebut telah berusaha untuk mewujudkan pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar dan memberikan pengalaman- pengalaman nyata bagi siswanya.
Motivasi menentukan tingkat keberhasilan atau gagalnya kegiatan belajar siswa. Hasil belajar optimal akan tercapai apabila siswa terlibat secara
            aktif baik fisik, mental, maupun emosional dalam proses pembelajaran.
Kegiatan laboratorium merupakan salah satu cara untuk memotivasi
siswa dalam belajar IPA, sehingga hasil belajar akan lebih optimal. Ditinjau
dari tujuan kegiatan laboratorium yaitu membantu mendorong siswa untuk
aktif belajar dengan memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba sendiri
atau mengamati keadaan nyata, dapat memotivasi siswa untuk belajar IPA
dan meningkatkan hasil belajar.
Semangat belajar pada diri siswa akan selalu ada jika siswa tersebut selalu
termotivasi. Jadi, jika praktikum rutin/ sering dilaksanakan maka siswa
akan termotivasi dan hasil belajarnya dapat meningkat. Disisi lain, keberhasilan pelaksanaan praktikum juga dapat ditunjang oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor sekolah, guru, siswa, fasilitas, dan waktu. Untuk factor siswa, pada kenyataannya antara siswa yang satu dengan siswa yang lain mempunyai kemampuan melaksanakan praktikum yang berbeda-beda. Hal ini karena masing-masing anak mempunyai intelegensi yang berbeda, sehingga penguasaan konsep dasar dari masing-masing siswa juga berbeda.
Woolnough (dalam Rustaman dkk, 2003) mengemukakan bahwa bentuk praktikum bisa berupa latihan, investigasi (penyelidikan) atau bersifat
pengalaman. Bentuk praktikum yang dipilih hendaknya disesuaikan dengan
aspek tujuan dari praktikum yang diinginkan.
Dalam proses belajar mengajar kegiatan laboratorium atau praktikum turut berperan dalam mencapai 3 tujuan pembelajaran, antara lain :
a. Keterampilan kognitif, misalnya :
- melatih agar teori dapat dimengerti
- agar teori dapat diterapkan pada keadaan problem nyata.
b. Keterampilan afektif, misalnya :
- belajar bekerja sama
- belajar menghargai bidangnya
- belajar merencanakan kegiatan secara mandiri.
c. Keterampilan psikomotorik, misalnya :
- belajar memasang peralatan sehingga betul-betul berjalan
- belajar memakai peralatan dan instrumen tertentu.
Penerapan kegiatan laboratorium dalam pembelajaran memiliki kebaikan dan kelemahan. Kebaikan dari pelaksanaan praktikum antara lain :
- melibatkan siswa secara langsung dalam mengamati suatu proses
- siswa dapat meyakini akan hasilnya, karena langsung mendengar, melihat,
meraba, dan mencium yang sedang dipelajari
- siswa akan mempunyai kemampuan dalam ketrampilan mengelola alat,
mengadakan percobaan, membuat kesimpulan, menulis laporan, dan mampu berfikir analitis
- siswa lebih cenderung tertarik pada obyek yang nyata di alam sekitarnya
- memupuk dan mengembangkan sikap berfikir ilmiah, sikap inovatif, dan saling bekerja sama
- membangkitkan minat ingin tahu, memperkaya pengalaman ketrampilan
kerja dan pengalaman berfikir ilmiah.
Sedangkan kelemahan/ kekurangan dari praktikum antara lain :
- Guru harus benar-benar mampu, menguasai materi dan ketrampilan
- tidak semua mata pelajaran dapat dipraktikkan dan tidak semua diajarkan
dengan metode praktik
- alat-alat dan bahan yang mahal harganya dapat menghambat untuk
  melakukan praktik
            - banyak waktu yang diperlukan untuk praktik, sehingga kemungkinan dapat
dilaksanankan diluar jam pelajaran (Indarto, 2002).

D. Pengelolaan  Laboratorium
Kegiatan praktikum dalam pembelajaran biologi dapat dilakukan di dalam ruangan laboratorium, atau di luar ruangan yaitu memanfaatkan laboratorium alam. Hal ini disesuaikan dengan materi yang dipraktikumkan. Untuk ruang laboratorium diperlukan desain khusus karena di laboratorium, selain terdapat ruangan tempat siswa melakukan kegiatan belajar/ praktikum, terdapat pula ruangan-ruangan lain yaitu ruang persiapan, ruang penyimpanan (gudang), ruang timbang, dan ruang gelap. Luas ruangan praktikum biasanya disesuaikan dengan jumlah siswa yang menggunakannya, yang diperkirakan 2,5 m2 untuk tiap siswa. Tata letak (lay out) disesuaikan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjaga keamanan, sedang tata ruang tergantung pada kondisinya, namun perlu diatur sehingga mempermudah kegiatan praktikum/ pemanfaatannya. Untuk mendukung kelancaran pemanfaatan laboratorium alam dapat disediakan kebun botani, “green house”, dan lainlain.
Peralatan yang harus dipenuhi oleh sebuah laboratorium antara lain adalah meja yang terdiri dari meja kerja siswa, meja kerja guru, meja demonstrasi, dan meja dinding; kursi; lemari; bak cuci; listrik; papan tulis; rak; alat dan bahan praktikum; alat peraga pendidikan seperti model, bagan, contoh hewan & tumbuhan; perkakas; kotak P3K dan isinya; alat pemadam api; dan alat kebersihan. Pengelolaan laboratorium juga penting untuk diperhatikan yang secara garis besar menurut Rustaman, dkk (2003) pengelolaan laboratorium dibedakan menjadi kegiatan pemeliharaan, penyediaan, dan peningkatan daya guna laboratorium.

E. Tujuan Kegiatan Praktikum
Kegiatan laboratorium sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pelajaran sains di sekolah telah berakar sejak abad ke 19. Pada tahun 1892 Griffin menulis bahwa: “Laboratorium telah memenangkan tempatnya di sekolah dan perkenalannya telah terbukti berhasil. Laboratorium dirancang untuk melakukan revolusi pendidikan. Murid-murid yang ke luar dari laboratorium mampu melihat dan bekerja (dikutip oleh Rosen, 1954 dalam Hofstein, 1988). Setelah tahun 1910, gerakan pendidikan progressif memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap hakekat pengajaran sains pada umumnya dan kegiatan laboratorium pada khususnya. John Dewey merupakan pemimpin gerakan pendidikan progresif yang menyarankan pendekatan investigative dan belajar sambil bekerja (learning by doing). Selama periode ini, buku teks dan buku pegangan laboratorium mulai memiliki aspek terapan dan berorientasi manfaat. Walaupun gerakan pendidikan progresif sedang mendapatkan momentumnya, debat tentang peranan kegiatan laboratoriumpun tetap berkembang. Argumen yang muncul terhadap kegiatan laboratorium yang dilakukan siswa meliputi:
1. sedikit guru sekolah lanjutan yang kompeten untuk menggunakan laboratorium secara efektif;
2. terlalu banyaknya menekankan kegiatan laboratorium akan mengakibatkan konsepsi sains yang sempit;
3. terlalu banyak eksperimen yang ditampilkan di sekolah lanjutan akan dianggap hal sepele; dan
4. kegiatan laboratorium di sekolah sering jauh dan tak berhubungan dengan kemampuan dan minat siswa.
Seperti telah dikemukakan bahwa setelah Perang Dunia Pertama, kegiatan laboratorium digunakan hanya untuk konfirmasi informasi yang telah dipelajari sebelumnya baik dari guru maupun buku teks. Orientasi ini tetap tak berubah sampai munculnya kurikulum sains yang baru tahun 1960-an dengan beberapa perubahan tentang peranan kegiatan laboratorium. Kurikulum sains yang baru menekankan proses sains dan mengembangkan keterampilan kognitif tingkat tinggi dan kegiatan laboratorium memiliki peran sentral dan bukan hanya sebagai tempat untuk demonstrasi dan konfirmasi tetapi merupakan inti proses belajar sains (Shulman dan Tamir 1973). Para pengajar sains kontemporer (seperti Schwab, 1962; Hurd, 1969; Lunetta dan Tamir, 1979) telah mengemukakan pandangannya bahwa keunikan laboratorium pada prinsipnya terletak dalam menyediakan kesempatan kepada siswa agar terlibat dan akrab dengan proses investigasi dan inkuiri. Menurut Ausubel(1968) bahwa laboratorium akan memberi siswa sikap menghargai (apresiasi) terhadap semangat dan metode sains, mendorong kemampuan memecahkan masalah, berpikir analitis dan kemampuan generalisasi, serta memberikan pemahaman tentang hakekat sains.
Menurut Shulman dan Tamir (1973) klasifikasi tujuan pengajaran kegiatan laboratorium dalam pendidikan sains adalah sebagai berikut:
1. membangkitkan dan memelihara minat, sikap, kepuasan, keterbukaan daN  sikap ingin tahu dalam sains;
2. mengembangkan berfikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah;
3. mendorong aspek berfikir ilmiah dan metode ilmiah (misal merumuskan hipotesis dan membuat asumsi);
            4. mengembangkan pemahaman konseptual dan kemampuan intelektual; dan
5. mengembangkan kemampuan praktis (misal, merancang dan melakukan
investigasi, observasi, mencatat data, menganalisis dan menginterpretasikan hasil).
Menurut Lunetta dan Hofstein (1980) tujuan pengajaran laboratorium dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ranah kognitif, praktis dan afektif (Tabel 1). Tujuan ini juga telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai tujuan pengajaran sains.
Tujuan Kegiatan Laboratorium
Kognitif · Mendorong pengembangan intelektual
· Memperkuat belajar konsep ilmiah
· Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah
· Mengembangkan berfikir kreatif
· Meningkatkan pemahaman sains dan metode ilmiah
Praktis · Mengembangkan keterampilan investigasi sains
· Mengembangkan keterampilan menganalisis data investigatif
· Mengembangkan keterampilan komunikasi
· Mengembangkan keterampilan bekerja sama dengan orang lain
Afektif · Memperkuat sikap terhadap sains
· Mendorong persepsi positif dari kemampuan seseorang untuk memahami dan mempengaruhi lingkungan orang lain
Bagaimana ketercapaian tujuan kegiatan laboratorium tersebut? Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti keefektifan kegiatan laboratorium dalam pendidikan sains dalam upaya memfasilitasi pencapaian berbagai tujuan kegiatan laboratorium. Studi ini telah direviu dan dianalisis oleh Bates (1978) dan oleh Blosser (1981).
Kebanyakan dari penelitian tersebut adalah membandingkan pengaruh metode yang berbeda dalam kegiatan praktikum di laboratorium dengan metode pengajaran lainnya.
Beberapa contoh diantaranya adalah: Coulter (1966) membandingkan eksperimen laboratorium induktif dengan demonstrasi induktif dalam mata pelajaran biologi sekolah lanjutan; Yager et al. (1969) membandingkan tiga kelompok, yaitu kelompok laboratorium, kelompok demonstrasi dan kelompok diskusi dalam mata pelajaran biologi; Lunetta (1974) membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok simulasi komputer pada pelajaran fisika. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara metode mengajar yang diukur dengan paper-and-pencil tests dalam pencapaian hasil belajar, sikap, berfikir kritis, pemahaman hakekat sains, dan pengetahuan proses sains.
Hal ini tidaklah mengejutkan, salah satu area dimana pendekatan laboratorium
menunjukkan keuntungan yang dapat diukur daripada mode mengajar lainnya adalah dalam pengembangan keterampilan manipulatif laboratorium.
Berikut adalah konklusi tentatif yang dihimpun oleh Bates (1978) dari reviu beberapa
literatur:
1. Perkuliahan, demonstrasi, dan pengajaran laboratorium memiliki kefektifan yang sama di dalam mengajarkan konten sains.
2. Pengalaman laboratorium memiliki keunggulan untuk mengajarkan keterampilan kerja dengan peralatan.
3. Walaupun sebagian besar telah gagal mengasses hasil kegiatan laboratorium, ukurankebermaknaan kegiatan laboratorium dapat dikembangkan dan laboratorium muncul secara signifikan sebagai area pembelajaran sains yang berbeda dari pemerolehan konsep.
4. Beberapa jenis kegiatan laboratorium yang berorientasi inkuiri lebih baik dari demonstrasi atau kuliah atau verifikasi untuk pengajaran proses inkuiri. Bagaimanapun juga, guru perlu lebih terampil dalam metode mengajar inkuiri. Pelatihan inkuiri yang khusus untuk siswa perlu diberikan karena siswa memerlukan waktu dan bimbingan untuk menjadi nyaman dan dapat mengikuti metode baru dan harapan.
5. Laboratorium memiliki potensi untuk memberikan efek positif sikap siswa dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk lebih berhasil di dalam sains.
6. Penelitian baru dan kontinu tentang peranan pengajaran sains untuk pengembangan kognitif mungkin perlu dilakukan, juga strategi pembelajaran sains yang baru dengan kegiatan laboratorium yang dirancang secara tepat harus menjadi peran sentral.
Berdasarkan konklusi di atas, Bates (1978) menyatakan bahwa:”guru yang percaya bahwa laboratorium mengerjakan sesuatu yang khusus untuk siswanya harus secara hatihati mempertimbangkan hasil yang ingin dicapainya dan menemukan cara-cara untuk mengukurnya”. Bates menyebutnya dengan inkuiri sistematik. Perlu juga difikirkan tentang apa yang harus dikerjakan dan disempurnakan serta apa yang harus ditinggalkan dengan biaya yang rendah dan kegiatan yang tidak menyita waktu. Sebenarnya banyak kritikan yang ditujukan kepada keefektifan kegiatan laboratorium dalam mencapai tujuannya sehingga kegiatan laboratorium memerlukan penataan ulang. Penataan ulang ini adalah kegagalan dalam penelitian pendidikan yang mendukung keefektifan pengajaran kegiatan laboratorium (Hofstein dan Lunetta, 1982). Mereka menuliskan bahwa:”penelitian yang lalu umumnya menguji hal yang sempit dari keterampilan laboratorium dan kesimpulan yang diambil diterapkan secara sempit pada teknik-teknik mengajar, karakteristika guru dan siswa dan hasil belajar”. Lebih khusus lagi, Hofstein dan Lunetta berargumentasi bahwa banyak penelitian yang memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya berkaitan dengan:
1. Pemilihan variabel dan kontrol variabel. Peneliti gagal menguji atau melaporkan variabel deskriptif penting dari kemampuan dan sikap siswa. Umummya mereka gagal mencatat jenis pengalaman laboratorium yang jadi prioritas yang banyak melibatkan siswa. Kurangnya perhatian terhadap pengendalian faktor-faktor luar, seperti instruksi di luar laboratorium selama penelitian berlangsung.
2. Ukuran kelompok. ara peneliti membandingkan kelompok-kelompok kecil.
Selanjutnya, sampel siswa memiliki keragaman yang terbatas dan sebagian penelitiaan tidak menguji pengaruh perbedaan subset populasi (misal siswa yang memiliki kemampuan dan kurang memiliki kemampuan).
3. Instrumen. Para peneliti dalam pendidikan sains lebih sering mempertimbangkan hakekat perlakuan daripada validitas instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil studinya.
Welch (1971) mencatat ada 30 penelitian tentang prosedur mengajar termasuk
pengajaran laboratorium, tak ada hubungan diantara prosedur pembelajaran dan tes yang   dipilih untuk mengukur pengaruh yang terjadi.
Kritikan yang lain yang berkaitan dengan instrumen adalah jika kegiatan laboratorium merupakan model mengajar yang unik dalam pendidikan sains maka diperlukan model assesmen yang unik pula (Tamir, 1972). Oleh karena itu perlu mengembangkan instrument evaluasi yang lebih sensitif yang akan memberikan informasi yang reliable dan valid tentang apa yang dilakukan siswa di laboratorium dan tentang keterampilan laboratorium yang berkaitan.

D. Kendala-kendala Kegiatan Praktikum
Temuan-temuan penelitian tentang belajar melalui kegiatan laboratorium di dalam pendidikan sains sangat mengejutkan dan tidak memuaskan. Kegiatan laboratorium sebagai medium untuk belajar pengetahuan kognitif atau bahkan untuk penguasaan keterampilan psikomotor bukti-bukti keefektifan waktu dalam kegiatan laboratorium tidak baik. Sejumlah masalah tampaknya mengakibatkan ketidakefektifan tersebut. Masalah tersebut menyangkut masalah implementasi dan insentif.
Kegiatan praktikum sains di sekolah sangat mahal baik dari segi uang, waktu dan sumber daya manusia. Oleh karena itu memasukkan pengalaman yang mahal ini ke dalam kurikulum sekolah tidaklah sederhana dan banyak masalah terutama di negara sedang berkembang tapi ada juga bukti di negara yang berkembang.
a. Kurangnya peralatan.
Negara-negara berkembang tidak enggan untuk merancang kurikulum sains dan menerima tantangan pendekatan berdasarkan praktikum (practical-based approach) dalam belajar sains. Namun demikian, banyak masalah yang muncul. Bagaimana mendapatkan alat-alat laboratorium? Dapatkah guru menggunakannya? Bagaimana memelihara alat-alat? Bagaimana alat-alat tersebut disimpan? Bagaimana untuk kelas yang besar jika alatnya hanya ada satu set? Semua ini hanya sebagian dari masalah yang muncul jika pembelajaran sains menggunakan pendekatan berdasarkan praktikum dan hal ini akan membuat frustasi guru. Hasil belajarnya mungkin akan lebih jelek daripada belajar sains tanpa berdasarkan praktikum.
Di negara-negara berkembang diperkenalkan “low-cost equipment” (peralatan biaya murah) untuk digunakan di sekolah-sekolah melalui dua cara yang telah dilakukan. Pertama peralatan dibuat dan didistribusikan oleh pusat secara nasional, kedua mungkin disebut peralatan tanpa biaya (no-cost equipment) artinya alat disediakan oleh pusat sumber belajar. Di Indonesia peralatan laboratorium dibagai dari pusat (Departemen Pendidikan Nasional). Bahkan di negara lain selain Indonesia, guru-guru membuat peralatannya sendiri dan terkadang dibuat oleh pengrajin lokal. Walaupun sudah diberikan cara seperti di atas tetapi tetap tidak memecahkan masalah. Bahkan peralatan biaya murah memunculkan masalah transportasi apalagi di Indonesia negara dengan wilayah yang sangat luas. Jika peralatan harus dibuat sendiri terkadang kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahannya dan bahkan guru menjadi kelebihan beban dan tidak memiliki waktu luang untuk membuat alat walaupun memiliki keterampilan untuk membuatnya.
Kesulitan lain adalah berkaitan dengan guru yang harus menggunakan alat-alat
tersebut. Sebagian besar guru yang lulus dari universitas lebih terbiasa dengan peralatan standar. Peralatan standar tersebut sering berbeda dengan peralatan yang ada di sekolah. Hal ini seperti terjadi di Indonesia. Kondisi seperti ini akan menjadi penghalang karena sikap dan harapan guru tak sesuai dengan harapannya untuk mengajarkan sains. Bahkan semangatnya bisa menurun karena memerlukan keterampilan baru untuk menggunakan alat-alat yang ada di sekolah. Keterampilan baru ini biasa memerlukan pelatihan seperti yang sering dilakukan oleh Pusat Penataran dan Pelatihan Guru IPA (P3G IPA) atau oleh
Hal ini tentu memerlukan biaya yang besar. Selain itu pelatihan yang dilaksanakan juga tidak melibatkan semua guru terutama guru di sekolah yang jauh dari kota seperti smu di kecamatan terpencil. Hal ini tentu saja mengakibatkan guru tak mampu mengoperasikan peralatan laboratorium.
b. Menyita waktu
Kegiatan praktikum memerlukan waktu. Sekolah-sekolah biasanya sudah memiliki jadual yang sudah pasti untuk setiap mata pelajaran dan tidak mempertimbangkan waktu praktikum. Guru sudah berketetapan untuk menggunakan waktu yang tersedia seefektif mungkin sehingga mampu menyelesaikan materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar